Alumni DRI FIB UB Kenalkan Indonesia di Vietnam

27 April 2022 by Khilmi Mauliddian

Sejak tahun 2017, Universitas Brawijaya (UB)  telah dipercaya oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk melaksanakan program Darmasiswa RI (DRI). Program  ini dirancang untuk memperkuat diplomasi di bidang bahasa dan budaya Indonesia dengan memberikan beasiswa penuh bagi mahasiswa asing dari berbagai negara. Di UB, program ini kemudian dipercayakan kepada Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Di mana selama satu tahun di FIB UB, mahasiswa asing tersebut belajar mengenai bahasa dan beragam budaya Indonesia.

Usai satu tahun menimba ilmu, semua mahasiswa asing tersebut kembali ke negaranya masing-masing. Sejak saat itu, mereka pun sudah dianggap sebagai duta Indonesia di negaranya. Tujuannya agar mereka tetap selalu bangga mengenalkan Indonesia kepada masyarakat di negaranya. Termasuk juga mengenalkan UB di sana sebagai tempat mereka pernah menimba ilmu.

Salah satu alumni program DRI FIB UB  adalah  mahasiswa asal Vietnam. Ia bernama Luong Thi My Le. Ia merupakan alumni DRI FIB UB angkatan 2019. Meski telah kembali ke negaranya, ia masih menjalin komunikasi dengan dosen di FIB UB yang dulu mengajarnya. Hal itu membuktikan bahwa selama masa belajar di FIB UB para mahasiswa asing merasa begitu nyaman.

Yang unik dari mahasiswa Vietnam ini selain sudah cukup lancar bahasa Indonesia, ia juga memiliki nama Indonesia. Lestari, begitulah nama panggilannya. Menurut pengakuannya, dulu nama ini diberikan oleh dosen asal Indonesia yang mengajarnya saat di Vietnam. Sejak saat itu, ia lebih suka dipanggil dengan nama tersebut. Pun ketika saat studi di FIB UB. Ia lebih suka memperkenalkan dirinya dengan nama Indonesianya. Baginya, memiliki nama panggilan Indonesia merupakan sebuah kebanggaan. Selain itu, nama tersebut merupakan bentuk cintanya pada Indonesia.

Beberapa waktu lalu salah satu dosen FIB UB, Khilmi Mauliddian, M.Li., yang tak lain dosen pembimbingnya saat studi di FIB UB berkesempatan untuk berkomunikasi dengan Lestari via Zoom. Pada kesempatan tersebut, Lestari dengan senang hati berbagi kabar dan cerita saat setelah kembali ke negaranya.

Awalnya, ia mengungkapkan jika dirinya sangat rindu dengan Indonesia. Terlebih sangat merindukan masa-masa belajar di FIB UB.

“Selama belajar di FIB UB banyak sekali ilmu dan pengalaman yang saya dapat. Dosen dan staf yang ramah dan baik, sangat membantu saat kami belajar,” kenangnya.

Mahasiswa yang kini masih menempuh studi Indonesia, pada Faculty of Oriental Studies, The University of Social Sciences and Humanities, Vietnam National University ini mengaku,  jika ia juga rindu dengan suasana Indonesia khususnya kota Malang. Baginya Malang sudah menjadi rumah kedua.

“Teman-teman di Indonesia sangat baik, masyarakat yang ramah, Malang yang penuh kesan seperti rumah saya kedua, makanan yang enak, setelah pandemi COVID-19 saya pasti akan berkunjung lagi ke Indonesia,” imbuhnya.

Terkait kesibukannya saat ini di Vietnam, ia pun menceritakan jika kegiatan sehari-harinya adalah kuliah. Perkuliahan di Vietnam juga masih dilaksanakan secara daring akibat pandemi COVID-19. Terlebih ia sudah semester lima, hampir setiap hari sibuk kuliah dari pagi hingga sore karena mengambil banyak mata kuliah. Namun, ia merasa bersyukur, untuk di daerah tempat tinggalnya yang terletak di Provinsi Dong Nai, Vietnam Tenggara, cukup aman dari COVID-19.

Mahasiswa DRI FIB UB asal Vietnam, Luong Thi My Le atau yang lebih akrab dipanggil Lestari, bercerita jika dirinya mengenalkan Indonesia ke masyarakat Vietnam khususnya di lingkungan terdekatnya.

“Di Vietnam, banyak anak muda tidak tahu tentang Indonesia. Mereka lebih banyak tahu tentang Korea dan China. Padahal, Indonesia tidak kalah menarik dengan negara-negara tersebut. Saya sering menjelaskan kepada mereka, Indonesia perlu untuk dikunjungi,” ungkapnya.

“Saya bercerita mengenai makanan khas Indonesia, tempat wisata yang indah, dan produk Indonesia yang ada di Vietnam. Sebenarnya banyak produk Indonesia yang ada di Vietnam, namun kebanyakan orang Vietnam tidak memperhatikan itu. Baru setelah tahu cerita saya, mereka menjadi penasaran,” imbuhnya.

Selain itu, setelah pandemi usai, ia akan lebih giat mengenalkan Indonesia di Vietnam. Sudah banyak rencana yang ingin dilakukannya.

“Setelah pandemi, saya akan lebih banyak membuat kegiatan yang bertemakan Indonesia seperti mengunjungi kedutaan Indonesia atau acara-acara yang diadakan oleh komunitas Indonesia di Vietnam, dan juga kegiatan yang bertemakan Indonesia di kampus,” jelasnya.

Saat ditanya alasan ia dulu tertarik belajar dan memilih studi Indonesia di Vietnam, ia menjelaskan, jika ia melihat Indonesia memiliki potensi yang besar. Apalagi Indonesia dan Vietnam memiliki hubungan sejarah dan persahabatan yang baik, sehingga sangat disayangkan jika hubungan itu tidak dijaga dan dimanfaatkan dengan baik. Dari situlah ia lantas memanfaatkan potensi tersebut dengan mengambil studi tentang Indonesia. Harapannya kelak, ia dapat bekerja yang berhubungan dengan Indonesia.

“Saya ingin sekali bisa bekerja di tempat yang memiliki hubungan dengan Indonesia. Di Vietnam, peluang itu masih terbuka luas apalagi ekonomi Indonesia juga mengalami kemajuan. Dengan bekerja di tempat tersebut, kelak saya berharap agar bisa lebih sering berkunjung ke Indonesia. Dan juga melihat peluang usaha apa saja yang dapat dikembangkan,” harapnya. [Khilmi/DTS/MSH/Humas FIB]

Alumni DRI FIB UB Kenalkan Indonesia di Vietnam (Bagian 1)  

Alumni DRI FIB UB Kenalkan Indonesia di Vietnam (Bagian 2) 

 

 

Mahasiswa Asal Jepang Angkat Tradisi Pemakaman Suku di Indonesia sebagai Tugas Akhir

27 April 2022 by Khilmi Mauliddian

Sohei Bersama Pimpinan FIB UB

Pemakaman merupakan ritual sakral yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Namun, dalam tata cara atau proses pemakaman, setiap kebudayaan memiliki caranya masing-masing. Hal ini kemudian menjadikan rasa penasaran bagi salah satu mahasiswa Program Darmasiswa RI Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB) asal Jepang bernama Shohei Senaha. Rasa penasaran tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk tugas akhir sebagai syarat wajib kelulusan Program Darmasiswa RI di FIB UB.

Untuk mempertanggungjawabkan hasil karya tulisnya, Shohei begitu panggilannya, wajib mengikuti sidang ujian TA (Tugas Akhir) yang diuji oleh tim dosen FIB UB. Pelaksanaan sidang tersebut berlangsung pada Rabu (6/8/2020) secara daring.

Shohei mengungkapkan alasannya memilih tema tradisi pemakaman suku di Indonesia. Ia menyampaikan jika ketertarikan itu bermula ketika ia mengikuti kelas budaya. Saat itu materi yang dibahas mengenai tradisi pemakaman yang ada di Suku Toraja. Semenjak mendapat materi itu, ia mengaku terkejut dan baru pertama kali mengetahui bahwa di Indonesia memiliki budaya yang unik tentang tradisi pemakaman. Inilah yang kemudian mendorongnya untuk semakin banyak mencari literatur cara pemakaman suku-suku di Indonesia.

“Salah satu yang sudah saya pelajari adalah tentang proses pemakaman yang dilakukan oleh Suku Toraja saat saya belajar di dalam kelas budaya. Pada penelitian ini, saya memutuskan untuk mencari tahu tentang ragam pemakaman dari lima suku yang ada di Indonesia antara lain, Suku Dayak, Suku Toraja, Suku Bali, Suku Batak, dan Suku Sunda. Lima suku ini saya pilih karena berpikir mengambil dari masing-masing pulau di Indonesia,” terangnya saat presentasi.

Tangkapan layar pelaksanaan sidang ujian via Zoom bersama tim dosen  Penguji FIB UB, foto Sohei Senaha paling bawah

Shohei juga menjelaskan perbedaan cara pemakaman di Jepang saat presentasi. “Upacara pemakaman dengan cara penguburan di Jepang telah dilarang. Saat ini, banyak perusahaan pemakaman yang menyediakan jasa perawatan jenazah. Cara yang dilakukan oleh perusahaan adalah dengan mengganti cara penguburan di tanah dengan cara kremasi. Para keluarga yang kerabatnya meninggal bisa meminta perusahaan pemakaman untuk melakukan pemakaman dengan kremasi,” jelasnya.

Antusiasme Shohei dalam mengangkat tugas akhir terkait tradisi pemakaman mendapat dukungan dari dosen pembimbing Khilmi Mauliddian, M.Li. “Awalnya saya terkejut dengan ide yang disampaikan Shohei. Tapi ketika ia mengemukakan alasannya dengan logis, saya lalu mengarahkannya, dan ternyata ia benar-benar semangat mempelajari dan mencari data tentang tradisi pemakaman suku yang ada di Indonesia,” ungkap dosen BIPA FIB UB ini.

Apresiasi juga diberikan oleh dosen penguji, Machrus Abadi, M.Pd. “Apa yang diangkat Shohei menarik. Terlebih penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa dari Jepang. Tentu ini dapat memacu semangat bagi kita untuk lebih memerhatikan dan mencintai tradisi budaya kita,” ungkapnya. (Khilmi_LIH/DTS/MSH/Humas FIB)

Mahasiswa Asal Jepang Angkat Tradisi Pemakaman Suku di Indonesia sebagai Tugas Akhir

Grady, Mahasiswa Asing FIB UB asal AS Buat Karya Video Perbedaan Budaya Indonesia-Amerika Serikat

27 April 2022 by Khilmi Mauliddian

Sudah menjadi hal yang wajar jika setiap negara di dunia ini memiliki ciri khas budaya yang berbeda-beda. Adanya Perbedaan budaya tersebut, tentu akan menyebabkan seseorang mengalami culture shock saat baru pertama berkunjung ke suatu negara asing. Terlebih jika kedatangannya dengan tujuan  untuk menempuh pendidikan di negara itu. Hal itulah yang  dirasakan Grady Mitchell, mahasiswa Program Darmasiswa RI (DRI) asal California, Amerika Serikat. Grady, begitu sapaannya merupakan mahasiswa DRI angkatan 2019 yang selama setahun menempuh pendidikan di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Univeritas Brawijaya (UB).

Baginya, menginjakkan kaki di Indonesia merupakan pengalaman baru yang tak akan pernah ia lupakan. Sejak menempuh pendidikan sarjana di Amerika Serikat, ia memang telah memiliki cita-cita untuk bisa berkunjung ke Indonesia. Gayung pun bersambut.ahun 2019, ia lolos seleksi dan diterima sebagai mahasiswa Program DRI dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI

Sejak tiba di Indonesia ia mengaku mengalami culture shock. Bagaimana tidak, salah satunya saat ia kali pertama menyeberang jalan raya di Indonesia, ia hampir saja tertabrak kendaraan bermotor. “Saya  lupa kalau di Indonesia kendaraan berjalan di lajur sebelah kiri. Karena kebiasaan di Amerika kendaraan berjalan di lajur sebelah kanan, sehingga saat menoleh di jalan raya saya  fokus pada lajur jalan di sebelah kanan. Lalu saya hampir tertabrak,” kenangnya. Sejak kejadian itu, ia makin berhati-hati dan berusaha membiasakan diri dengan kondisi budaya yang ada di Indonesia.

Kini ia telah setahun menempuh studi sebagai mahasiswa DRI FIB UB dan berhasil menuntaskan level C1.  Level ini merupakan tingkat pembelajaran bagi mahasiswa asing yang sudah memiliki kemampuan Bahasa Indonesia cukup baik. Pengalamannya selama di Indonesia kemudian ia tuangkan dalam sebuah karya video singkat yang berjudul “Lima Perbedaan Budaya antara Indonesia dan Amerika Serikat.” Karya video ini merupakan tugas wajib pengganti kelas Imersi yang seharusnya dilaksanakan bagi seluruh mahasiswa DRI di setiap akhir semester. Kelas Imersi merupakan program pembelajaran interaksi langsung dengan masyarakat. Namun, mengingat kondisi sedang terjadi pandemi COVID-19, untuk upaya pencegahan, kelas Imersi dialihkan dengan tugas membuat video budaya.

Grady memvisualisasikan ke lima perbedaan itu pada karya video yang dibuatnya dengan cukup menarik. “Meski isi videonya mungkin sederhana, namun harapan saya setidaknya video tersebut dapat membantu orang Indonesia yang ingin mengetahui gambaran umum budaya di Amerika,” tuturnya.

Saat ditanya rencana setelah selesai mengikuti program DRI, ia mengatakan jika ia sangat ingin bisa melanjutkan S2 Linguistik di UB. Ia berharap bisa diterima, karena sudah jatuh cinta dengan Indonesia, sehingga ke depan dapat lebih dalam mempelajari bahasa Indonesia, isu dan eksistensi bahasa-bahasa daerah,  dan budaya yang ada di Indonesia. “Ya, saya sekarang sangat suka dengan Indonesia. Jadi sekarang saya berpikir agar bisa S2 di UB, karena saya belajar tentang linguistik di S1 Maka saya mau belajar lebih tentang bahasa Indonesia maupun isu eksistensi bahasa daerah, dan budaya Indonesia” harapnya. (Khilmi_LIH/dts/MSH/PR FCS)

Grady, Mahasiswa Asing FIB UB asal AS Buat Karya Video Perbedaan Budaya Indonesia-Amerika Serikat 

Berikut isi video lima perbedaan budaya Indonesia dan Amerika Serikat di buat Grady:

Lihat video di sini

Hello world!

17 October 2020 by Khilmi Mauliddian

Selamat Datang di Universitas Brawijaya. Ini adalah posting pertamaku

Mahasiswa S2 Linguistik Universitas Brawijaya Pelajari Budaya Komunitas Samin

5 May 2018 by Khilmi Mauliddian

Bersama sesepuh komunitas Samin (Mbah Hardjo Kardi tengah) Bojonegoro (foto dok.: Amanda/ S2 Linguistik)

Sebagai bagian dalam proses pembelajaran mata kuliah Language and Culture, mahasiswa program studi S2 Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya mengadakan studi lapangan ke komunitas Samin Bojonegoro pada Sabtu dan minggu (21-22/4). Sebanyak 15 mahasiswa dan satu dosen pembimbing matakuliah tergabung dalam satu rombongan berangkat bersama-sama. Kegiatan ini merupakan rangkaian proses pendalaman matakuliah yang sedang ditempuh oleh mahasiswa S2 Linguistik semester 2.

Saat tiba di tempat komunitas Samin, kedatangan rombongan mahasiswa disambut hangat oleh sesepuh Samin, Hardjo Kardi atau biasa dipanggil mbah Hardjo. Sosok Mbah Hardjo merupakan keturunan generasi keempat dari pendiri ajaran Samin yaitu Surosentiko Samin yang masih hidup. Usianya sudah terbilang tua. Lahir pada tahun 1934 namun masih tampak sehat. Dengan ramah beliau menyambut dan mempersilakan seluruh rombongan masuk ke rumahnya.

Kunjungan ini menjadi sangat berkesan, sebab kedatangan rombongan ternyata bertepatan dengan budaya nyadran oleh komunitas Samin. Budaya nyadran komunitas Samin berbeda dengan budaya nyadran pada umumnya. Bagi komunitas ini, nyadran adalah sarana berkumpul dengan keluarga dan ajang menyambung persaudaraan dengan kerabat dan tetangga sembari menyajikan makanan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen selama satu hari itu. Atau lebih mirip dikatakan lebaran panen.

Adanya kegiatan budaya itu, antusias mahasiswa yang mengikuti studi lapangan semakin tinggi untuk mempelajari budaya Samin. Pada kesempatan tersebut, Mbah Hardjo menyampaikan banyak cerita tentang Samin yang dianut oleh komunitas Samin. Mulai dari sejarah, makna ajaran, dan kebudayaan yang dilakukan oleh komunitas ini.

Lebih lanjut, Mbah Hardjo dengan tangan terbuka memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menggali lebih dalam tentang komunitas Samin. Karena menurut Mbah Hardjo, ajaran Samin adalah ajaran kebaikan, maka siapapun dipersilakan untuk mempelajarinya.

Perilaku Hidup Samin
Komunitas Samin merupakan salah satu komunitas yang masih menjaga kearifan lokal hingga sekarang. Komunitas ini tersebar di beberapa daerah di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Tengah Komunitas Samin menyebar di wilayah kabupaten Blora, Rembang, kudus, dan Pati. Sedangkan di Jawa Timur komunitas Samin berada di Wilayah kabupaten Ngawi dan Bojonegoro.

Komunitas Samin yang ada di Bojonegoro bertempat tinggal tepatnya di dusun Jepang, desa Margomulyo, kecamatan Margomulyo. Secara geografis letak dusun Jepang berada di tengah kawasan hutan Jati. Dalam kehidupannya, mereka masih menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Samin antara lain, selalu bertindak jujur, tidak iri, tidak dengki, Sabar, trokal atau selalu berdaya upaya, tidak suka menyinggung perasaan orang lain baik fisik atau nonfisik, dan masih menjunjung tinggi budaya hidup gotong royong.

Mbah Hardjo berkisah, Samin di dusun Jepang hingga saat ini masih menerapkan dan memelihara budaya gotong royong. “apabila ada orang menanam Jagung, maka disini masih menerapkkan gotong royong saling membantu tanpa diberi upah, dan begitu seterusnya untuk kegiatan apapun yang ada di masyarakat sini secara bergantian. Satu membutuhkan maka lainnya berkewajiban membantu tanpa diberi upah sepeser pun” Terangnya pada mahasiswa.

Mbah Hardjo juga menambahkan, apabila disini ada orang yang berbuat tidak jujur maka ia yakin hukum karma akan menimpa pada orang tersebut. Maka pantang bagi komunitas Samin untuk tidak jujur dalam kehidupan. Sehingga tidaklah heran, berkat budaya kejujuran yang sudah melekat pada komunitas Samin, wilayah Samin tergolong aman dan lingkungan alamnya masih terjaga kelestariannya, sebab pantang bagi masyarakat Samin untuk mencuri yang bukan haknya.

Makna Studi Lapangan
Menurut dosen pembimbing Language and Teaching, Ismatul Khasanah, Ph.D yang turut mendampingi rombongan mahasiswa, tujuan dari kegiatan ini merupakan sarana agar mahasiswa mampu mengaplikasikan dan mendalami pemahaman terkait budaya dan bahasa pada suatu komunitas masyarakat.

“Maksud Studi lapangan ke komunitas Samin di Bojonegoro agar mahasiswa S2 Linguistik mampu memahami dan mempunyai wawasan yang lebih luas terhadap keragaman bahasa dan budaya yang masih hidup dan lestari seperti Samin dan bisa digunakan sebagai objek belajar dan penelitian secara langsung” jelasnya.

Lebih lanjut, Isma Sensei begitu biasa dipanggil, menjelaskan bahwa proses belajar bahasa dan budaya akan sangat membumi, karena mahasiswa bisa berinteraksi secara langsung dengan komunitas Samin dengan bekal teori yang diperoleh di kelas dan selanjutnya dapat digunakan sebagai bekal dalam studi maupun setelah lulus.

“Kedepan diharapkan setelah mengikuti kegiatan studi lapangan, mahasiswa semakin bertambah wawasan dan kepeduliaanya dalam memahami budaya yang masih ada seperti komunitas Samin. Dengan demikian, ketika lulus dari S2 Linguistik nantinya bisa menjadi lulusan yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat.” Pungkasnya. (Khilmi/Mli)

*Berita sudah diterbitkan di website FIB Universitas Brawijaya dalam versi bahasa Indonesia dan Inggris

http://fib.ub.ac.id/?p=13239 (versi bahasa Inggris)